Dwita, Matahariku . . . .

Di pojok dinding kamarku, ku coret sebuah nama yang begitu indahnya semenjak tiga tahun yang lalu kepergianmu "Dwita Puspita Anggraina". Hanya nama itu yang bisa aku kenang.

Sebelum tidur, aku selalu membaca coretan itu. Mengulang - ulang namamu sambil mencoba memancing ingatanku tentang sosokmu tiga tahun yang lalu, Matahariku . . .

Tiga tahun yang lalu, di hari terakhir kita bertemu, di sebuah pantai lepas dengan tenangnya ombak kecil yang membuat suasana menjadi makin nyaman, dan dengan sinar sunset yang makin meredup dia bertanya.
"Sayang, kamu tau kan kalo bumi butuh matahari ?"
"iya aku tau, memangnya kenapa ?"
"Sebentar lagi dia tenggelam, Gimana kalo besok dan seterusnya dia gak pernah balik lagi ?"
"ya kiamaaaat sayang bego !!"
"Kamu yang bego ! Mana ada kiamat tanpa matahari ?"
"tauk ah ! Ngaco !"
"Seriuuuus yaaaaaang ! Gimanaaa ?"
"ya gak tau lah ! Mungkin bumi bakal kedinginan, sepi, dan membeku ! Tauk ah ! Ayo pulang !".

Ternyata pertanyaan itu seakan membahas tentang bagaimana jika dia yang pergi, bukan matahari yang pergi. Apa aku akan kedinginan, sepi, dan membeku layaknya bumi ?

Setelah kebersamaan itu, Sore hari, di pantai dengan sebuah sunset (12/07/2010).Keesok'annya, di hari yang biasa - biasa saja, matahari masih kembali dengan sinarnya yang hangat, ponselku berdering dengan sebuah pesan singkat yang masuk mengatakan "yang tabah ya ervan, innalillahi wa innailaihi raji'un, 2 jam yang lalu dwita tertabrak kereta dan tak terselamatkan nyawanya. Tante vivi juga ikut berduka cita."

Entah bagaimana aku akan menceritakan keadaanku saat itu. Aku hanya diam dan dengan kepala yang tertunduk air mataku menetes tanpa kuasa aku tahan. Tepat di tengah - tengah di sebelah dadaku seakan terjadi benturan hebat dan sangat sakit aku rasa. Matahariku telah pergi membawa sunsetnya yang indah tanpa pernah kembali.

Tapi aku tidak begitu yakin dengan berita ini. Sesegera mungkin aku datang ke rumah dwita. Dan di sebuah pemakaman yang tak jauh dari rumah dwita, aku melihat segerombolan orang mengelilingi sebuah makam dengan batu nisan yang bertuliskan "Dwita Puspita Anggraina Binti Ridho".

Ya Tuhan . . . .

Air mata yang mengelucur semakin menjadi dan semakin aku tak tahan menampungnya. Dwita telah pergi untuk selamanya, bahkan aku tak sempat melihat jasadnya. Apakah dia tersenyum ? Apakah dia marah ? Entah aku tak pernah tahu.

Andaikan bisa, aku ingin membongkar makam ini, aku ingin melihat wajahnya sekali lagi, mencium keningnya dan mengatakan "selamat jalan matahariku, semoga ada sunset sunset yang lain utukmu.". Sayangnya itu hanya ber Andai, karena hanya tumpukan tanah lah yang aku lihat.

Tak ada permintaan, tak pesan, tak pernah ada perencanaan, bahkan tak pernah membayangkan kejadian ini akan terjadi. Sebegitu hebatnya dunia ini memisahkan aku dan dwita. Ya tuhan aku ingin melihat jasadnya, ya tuhan aku ingin mengatakan sesuatu sekali lagi, toloong.

Sebulan penuh aku mencoba mengobati penderitaan kepergian dwita, matahariku. Bahkan dengan ketidaksadaran akibat alkohol yang aku minum juga tak mampu sepenuhnya membuat ingatan tentang kenangan - kenangan manis bersama dwita pudar walau sedikit.

Ya tuhan, pertemukan aku dan dwita walau semenit dan hanya di dalam mimpi. Aku hanya ingin mendengar pesan terakhirnya.

Mimpi itu tak pernah datang . . . .

Sore ini, di tempat yang sama, tanggal yang sama, dan dengan sinar sunset yang masih sama. Aku duduk terdiam di tempat yang juga masih sama seperti tiga tahun yang lalu bersama dwita.

Walaupun sendiri, aku masih bisa merasakan keberadaannya, aku masih bisa merasakan seberapa kuat jemari - jemari kecilnya menggenggam tanganku. Ini tempat terakhir kita bersama menunggu sinar sunset meredup dan matahari tenggelam dalam kegelapan malam.

Bersama ombak yang bersahabat dan angin pantai yang makin menusuk raga, aku berharap kau dapat mendengar pesan ini. "Dwita, disini aku kedinginan, sepi, dan membeku. Semoga kau tenang di sisinya, aku kangen kamu ! Matahariku."